harianjombang.com | GUNUNGKIDUL – Terdengar suara alat pertukangan di rumah Slamet (86) warga Padukuhan Sambirejo, Kalurahan Watusigar, Kapanewon Ngawen, Kabupaten Gunungkidul. Ia duduk santai di gubuk kayu, menikmati sebatang kretek Sehat Tentrem sembari melihat proses pembangunan rumahnya.
“Monggo mas pinarak lenggah mriki,” Mbah Slamet menyapa OPSHID MEDIA Gunungkidul menawarkan untuk duduk di sebelahnya.
Mbah Slamet sapaan akrabnya, menghisap kretek Sehat Tentrem kemudian mengisahkan perjalanan hidupnya sebagai pengerajin lambang negara Indonesia Garuda Pancasila yang ia tekuni sejak tahun 1979 silam. Meski terik matahari cukup menyengat pada siang itu, tetapi terasa sangat sejuk ketika sesekali Mbah Slamet tertawa saat memulai cerita menjadi pengerajin Garuda Pancasila.
“Ide awalnya saat bermain kethoprak, teman saya namanya Weli Sudarsono membuat gambar Garuda Pancasila untuk properti panggung. Kemudian saya kepikiran untuk membuat yang lebih bagus,” ungkap Mbah Slamet dengan mengerutkan dahi mengingat masa lalu.
Kisah Mbah Slamet sempat terjeda sekitar dua hingga tiga menit, relawan Rumah Syukur Kemerdekaan Indonesia Layak Huni Shiddiqiyyah (RSKILHS) datang menyuguhkan kopi Sehat Tentrem dan makanan. Mbah Slamet kembali tersenyum setelah meminum kopi dan kembali melanjutkan ceritanya. Kala itu ia kemudian mencari bahan baku untuk membuat Garuda Pancasila, antaralain semen gandum koran dan air.
“Semua bahan itu (semen gandum koran dan air,red) dilebur hingga seperti bubur. Kemudian dipasang pada sebuah papan kayu yang sudah dipola, dijemur hingga setengah kering kemudian dibentuk sesuai pakem lambang negara Indonesia Garuda Pancasila,” jelas Mbah Slamet.
Ide kreatif Mbah Slamet kemudian muncul untuk membuat lambang negara Indonesia Garuda Pancasila dalam jumlah yang cukup banyak, kemudian dijual. Karena waktu itu belum memiliki pelanggan, ia menjajakan dagangannya dengan cara berkeliling di Seragen Jawa Tengah dan sekitarnya. Sesampainya di depan rumah seorang Kyai Darmo Sukarto ia dipanggil karena tertarik dengan karyanya.
“Pertama kali yang beli karya saya Kyai Darmo Sukarto. Pada tahun itu dibeli dengan harga yang cukup tinggi. Dua puluh ribu rupiah, sangat senang sekali. Karena menjadi pemeran ketoprak saja sekali tampil hanya mendapat bayaran satu hingga dua rupiah,” ungkapnya bangga.
Karya Mbah Slamet mulai ada yang laku, menambah semangat ia berkarya. Kegigihan dan ketekunannya membuat lambang negara Indonesia Garuda Pancasila dapat meningkatkan perekonomiannya. Dari tahun ke tahun karyanya semakin dikenal dan laris terjual bahkan hingga laku di luar pulau jawa.
“Yang beli ada yang dari Kalimantan dan Sumatera juga. Pejabat pejabat yang beli,” tuturnya dengan penuh rasa bangga.
Namun, perjalanan Mbah Slamet sebagai pengerajin lambang negara Indonesa Garuda Pancasila tidak selalu mulus. Ada kalanya karyanya sama sekali tidak laku hingga berbulan bulan. Kembali terjeda sejenak, Mbah Slamet menyalakan kretek Sehat Tentrem dan menikmati kopi, ia kemudian kembali berkisah. Meski tidak laku berbulan bulan, ia tetap konsisten membuat karya tidak pernah henti ia berkarya.
“Ra payu tetep gawe, pasti nek wes titi wancine payu mesti payu,” katanya dengan serius dan optimis.
Waktu telah berlalu, Mbah Slamet mengatakan ditengah perekonomian yang cukup sulit dan karyanya tidak selaku dahulu, ia justru merelakan karyanya untuk dibagikan ke Balai Kalurahan, Balai Padukuhan yang tidak jauh rumahnya sekarang. Menurutnya membuat lambang negara Indonesia Garuda Pancasila tidak hanya sekedar untuk dijual. Tetapi untuk menyebarkan nilai nilai perjuangan apa yang telah diperjuangkan oleh pahlawan yang telah gugur.
“Kalau dijual sekarang sekitar dua ratus hingga empat ratus ribu rupiah, tergantung ukuran. Tapi saya bangga ketika karya saya terpasang di balai Kalurahan dan Padukuhan saya ini,” ungkapnya dengan diikuti senyum dan kembali menghisap kretek Sehat Tentrem.
DAPAT ISTRI ANAK KYAI
Peran yang dibawakan Mbah Slamet saat pertunjukan kethoprak kala itu, ternyata memiliki magnet tersendiri bagi seorang Perempuan bernama Lasmi anak dari Kyai Darmo Sukarto warga Seragen, Jawa Tengah yang tidak lain pelanggan pertama kali yang membeli karya Mbah Slamet. Raut wajah senang terpancar, Mbah Slamet mengisahkan pertemuannya dengan Istri tercintanya.
“Kyai Darmo Sukarto selang satu bulan membeli karya saya, saat kembali bertemu saya dalam pagelaran ketoprak tiba tiba menawarkan untuk menjadi suami anaknya,” katanya dengan menunjukan wajah tidak percaya mengenang moment itu.
Terkejut, dan bahkan tidak bercaya Mbah Slamet dengan geleng geleng kepala melanjutkan ceritanya. Bahwa ia hanya merasa sebagai Masyarakat biasa, sementara Lasmi adalah anak Kyai. Perbedaan status sosial inilah yang membuat awalnya Mbah Slamet tidak percaya apa yang dikatakan oleh Kyai Darmo Sukarto.
“Tetapi ternyata Lasmi itu juga sir (senang, red) dengan saya,” kata Mbah Slamet diikuti tawa Mbah Slamet yang cukup keras dan nampak begitu senang sekali mengulang memori masa lalu. Mbah Slamet dan Mbah Lasmi kemudian menikah dan dikaruniai tiga anak dan tiga cucu.
Raut wajah Mbah Slamet mendadak sedih, ia mengisahkan Mbah Lasmi, istri mbah Slamet belum lama ini menghembuskan nafas terakhir akibat kanker payudara yang dideritanya 3 tahun belakangan ini.
“Sekarang sudah tidak sakit lagi, sudah tenang di sisi Tuhan, amin,” ungkap mbah Slamet dengan mata berkaca-kaca.
SIDDIQIYYAH BANGUNKAN RUMAH
Dalam mensyukuri Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Shiddiqiyyah melalui organisasi Dhilaal Berkat Rochmat Alloh (DHIBRA) memiliki program Rumah Syukur Kemerdekaan Indonesia Layak Huni Shiddiqiyyah. Pada tahun 2024 ini, Mbah Slamet sebagai penerima rumah yang dibangunkan Shiddiqiyyah secara gratis.
“Sangat berterimakasih kepada Shiddiqiyyah, karena bertahun tahun bermipi punya rumah tembok. Alhamdulillah tahun ini terwujud. Senang sekali, almarhum pasti sangat bahagia melihat anak dan cucunya tinggal di rumah yang sangat layak,” tutupnya lega.(rhd/ist)